play it

Selasa, 03 Januari 2012

bagian 2 - sebuah pilihan

Matahari telah berdiri tegak di atas puncak langit, memberikan cahaya dan panas yang begitu terik pada siang hari itu. Namun, Aji masih tetap berbaring di atas kasurnya, tanpa selimut, karena selimutnya telah jauh berada di sudut tempat tidur dan tergulung tidak karuan. Seorang wanita paruh baya mendatangi Aji dan mengoyang-goyangkan badannya.
"A, bangun, udah siang, ibu juga mau berangkat." Ternyata wanita itu adalah ibunya sendiri. Seorang ibu yang sangat baik hati, tidak pernah sekalipun suatu kata kasar keluar dari mulut wanita tersebut. Wataknya lemah lembut, tutur katanya sopan, dan senyuman selalu mengiringi kemana pun dia pergi.
"Hmm, ibu bu." Aji membuka matanya sebentar lalukembali membenamkan mukanya ke bantal.
"Ibu udah bikinin kamu nasi goreng tuh."
"Hah? tapi Aji mau puasa hari ini." Aji memang mempunyai niat untuk berpuasa sunah senin-kamis yang secara tidak kebetulan hari itu adalah hari senin. Dia bangkit dan menuju sumber suara yang sudah tidak ada di kamarnya itu.
"Terus buat siapa atuh?" kata ibu Aji sedikit kecewa. Memang saat itu rumah sudah sepi, ayah Aji telah berangkat kerja karena dia adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan ini adalah hari pertama kerja di tahun baru. Kakaknya memang tidak pulang dari perayaan pernikahan teh Nia. Dia bilang akan menginap di rumah nenek yang tidak jauh dari rumah teh Nia. Kakak Aji ini seorang perempuan tapi dia lebih sering keluar rumah dan tidak pulang dengan alasan menginap di rumah nenek. Sebenarnya Aji tahu kenapa dia suka sekali untuk menginap di rumah nenek. Itu karena dia sudah memiliki pacar, tetapi dia tidak berani untuk mengatakan kepada kedua orang tua Aji, sedangkan neneknya sudah mengetahuinya dan sang pacar juga sering bermain ke rumah nenek Aji.
"Hmm, ga enak juga sama ibu yang udah bikin." batin Aji.
"Ya udah, sama Aji makan aja bu, ga jadi puasanya," sahutnya.
Itulah pilihan Aji, dia memilih untuk tidak mengecewakan ibunya. Puasa sunah yang mungkin akan menambah pahala dan puasa yang sudah dia rencanakan karena dia pun sudah melakukan makan malam (sahur) dia batalkan.
"Kamu gak kemana-mana kan?" tanya ibunya lagi.
"Iya egk." Aji menjawab singkat karena dia tahu kalau ibunya sudah berkata demikian berarti tidak ada uang jajan untuk hari ini.

Detik-menit-jam berlalu, rumah sederhana bercat hijau itu hening. Di halaman depan hanya terdengar percikan-percikan air karena ikan yang berenang kesana-kemari dan kadang melompat untuk mendapatkan serangga yang terbang rendah di permukaan air. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, bahkan kamar mandi sangat sepi, hening, tidak ada suara tetesan air yang timbul karena bocornya keran wastafel. Berjalan lebih dalam, keadaan kamar kakak Aji pun sepi, gelap, barang-barang disana tersusun rapi layaknya kamar perempuan pada umumnya. Barang-barang tersebut tidak bergerak dan tidak digerakkan semenjak tanggal 31 desember 2011, sudah dua hari jika dihitung sampai hari ini. Disebuah lorong antara kamar Aji dan kakaknya terdengar samar-samar suara bergemuruh. Suara itu terdengar semakin kencang di sela-sela pintu kamar Aji. Suara bergemuruh orang banyak, padahal rumah itu sedang sepi, televisi yang hanya ada satu-satunya di ruang keluarga juga mati, radio sudah kusam dan hanya tersimpan berdebu di atas lemari tua di sudut ruang keluarga.
"Golll" Tiba-tiba Aji berteriak memecah keheningan rumah itu. Ternyata di dalam kamar dia sedang bermain PES 2012 di sebuah laptop berprosesor tidak kalah canggih dengan produk terbaru. Pertandingan sepak bola di dalam game tersebut telah berlangsung 49 menit dengan score 1 - 1. Aji memainkan tim sepak bola kesayangannya yaitu Arsenal dengan lawan MU. Tampak serius sekali Aji meneruskan pertandingan tersebut.

"Bzzt, bzzzt, bzzt." Ponsel Aji bergetar dan suara ringtone "Good Morning - Ost Hunter x hunter" terdengar. Dengan segera Aji menekan tombol pause dari joystick yang dia pegang, padahal saat itu posisi pemain Aji sedang menyerang dan kemungkinan akan menyetak gol.
Aji melihat ponselnya dan ternyata panggilan dari Arestu.
"Ya, res ada apa?" tanya Aji langsung.
"Ji, ahhh, pengen curhat, barusan gue UAS PM, ihh susah banget, padahal udah belajar ini-itu segala macemnya, ga taunya dikit banget yang keluar ahh bete."
"PM apaan tuh?"
"Ah elu, gua udah ngomong panjang-lebar, cuma tanya PM apaan, PM tuh pengenalan matematika."
"Elah Res, baru kenalan aja udah pusing gimana kalo udah jadian, hehe."
"Iiiiih, jadian sama mate, lu aja tuh Ji, eh elu ga ada UAS, atau kuliah gitu?"
"Ga ada Res, besok baru gua UAS kalkulus."
"Pasti lagi belajar nih, secara kalkulus gitu, kata senior gua ihh parah abis."
Aji melihat sekelilingnya, tidak ada sama sekali buku kalkulus, jangankan buku kalkulus, buku catatan atau sekedar untuk coretan pun tidak ada. Yang tergeletak hanyalah laptop yang layarnya menampilkan visual sebuah game.
"Yoi." Aji menjawab hanya untuk menutup-nutupi saja bahwa dia sama sekali belum belajar untuk UAS besok.
"Lu mah pasti bisa Ji, secara kan pinter."
"Hehe, makasih ya, lu ga belajar lagi buat besok?" tanya Aji untuk menutup pembicaraan karena dia tidak mau berbohong lebih banyak daripada itu.
"Mau sih, tapi makan-makan dulu nih bareng temen, lu sibuk ya, sori ya ganggu, selamat belajar Ji."
Percakapan di telepon akhirnya berhenti. Sekarang Aji masih terdiam, agak sedikit bimbang, meneruskan game yang tanggung akan dia menangkan atau mengambil buku kalkulus dan belajar untuk besok. Dengan cepat Aji berdiri karena jika lebih lama duduk di atas tempat tidur maka rasa malas akan kembali menghampirinya. Dia berjalan ke tumpukan buku-buku dan mengambil buku kalkulus jilid 8 karangan Purcell yang telah di edit oleh salah satu lembaga penerbit di Indonesia. Aji membuka bab per bab, tidak lama ponsel Aji bergetar lagi tetapi tanpa suara. Ternyata sudah ada dua pesan yang masuk yang satu dari Ranti -senior yang kebetulan bertemu saat Aji mendaki gunung Gede- dan dari ijah -teman satu SMA yang jiwanya memang selalu bersemangat dan menyemangati orang lain-. Karena ketiga orang tadi Aji jadi sedikit bersemangat untuk belajar. Tetapi, semangatnya luntur setelah membaca kurang lebih 25 menit buku yang memang agak sulit untuk dimengerti tersebut. Akhirnya Aji kembali duduk-duduk di atas tempat tidurnya dan tak lama setelah itu dia pun tiduran.
"Tidur dulu lah, supaya nanti malam bisa belajar dan gak ngantuk," gumam Aji.

Waktu menunjukkan pukul 17.00 Aji akhirnya terbangun dari istirahat siangnya. Dengan masih sempoyongan dia berjalan ke ruang keluarga yang ternyata anggota keluarga yang lainnya telah berkumpul disana. Mereka sedang menonton acara yang selalu dilihat oleh kepala keluarga Aji yaitu berita, ayah Aji duduk di kursi single tengah-tengah ruangan yang berhadapan dengan televisi sebesar 21 inchi sambil meneguk perlahan air keruh coklat kehitaman yang banyak orang menyebutnya kopi. Aji berjalan ke kamar mandi dengan membawa handuk yang telah dia ambil tanpa menyapa, tanpa bersalaman, kepada keluarganya.
Setelah mandi, makan, dan solat magrib, tiba-tiba lampu padam. Anak-anak tetangga berteriak ketakukan sedikit kegirangan. Suasana senja yang biasanya sunyi karena orang-orang bersembahyang menjadi ramai dengan teriakan-teriakan bocah yang belum tamat sekolah dasar.

Rencana Aji untuk belajar malam sekarang berhamburan entah kemana. Pikirannya terbagi menjadi dua, antara melanjutkan rencananya dengan menggunakan lilin atau senter dan menunggu listrik menyala baru dia mulai belajar. Dan Aji memilih untuk menunggu, dia menunggu dan menunggu sampai sekitar 30 menit menunggu listrik pun tak kunjung menyala. Karena masih memiliki semangat untuk tidak mendapatkan nilai buruk di UASnya, Aji akhirnya belajar menggunakan headlamp -semacam senter yang diikatkan di kepala- yang biasanya dia gunakan ketika pergi kemping. Namun apa daya, cerahnya lampu headlamp yang hanya terfokus pada satu titik malah membuat mata Aji sakit. Tidak lebih dari 30 menit dia membaca dan sedikit berlatih soal, semangat Aji hilang. Berbaringlah ia di atas kasurnya yang sangat menggoda, headlamp pun dimatikannya, suasanya kamar Aji sudah menjadi sangat gelap, dan akhirnya dia tertidur dengan buku yang tergeletak di lantai, terjatuh karena tangan Aji tidak sanggup menggenggam buku itu lagi.

15 menit kemudian, lampu-lampu pun mulai bersinar kembali. Namun sayang Aji telah terlelap dalam mimpinya. Andai saja dia membuka matanya sedikit lebih lama.

2 komentar:

Amaal mengatakan...

haha parah aja de, bener kan ini pasti curhatan :D

katakbara mengatakan...

hehe tapi di fiksi2n :p (ga semua disitu beneran ka)